HUTAN PAPUA TERANCAM PERLUASAN SAWIT
25 Oktober 2010 00:00:00Jakarta, BERLING - Rencana perluasan perkebunan di Papua harus
segera dihentikan dan ditinjau ulang menyusul banyaknya keprihatinan atas deforestasi besar-besaran
dan eksploitasi masyarakat lokal, demikian diperingatkan para pegiat lingkungan hari
ini.
Sebuah laporan baru yang dirilis oleh Telapak danEnvironmental
Investigation Agency (EIA) - berjudul "Up for Grabs" - memperlihatkan bagaimana lima juta hektar
lahan, sebagian besar hutan, sedang menjadi sasaran banyak perusahaan yang mengejar keuntungan dari
tingginya permintaan akan biofuel yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan komoditas
lainnya. Perampasan tanah ini memprovokasi terjadinya konflik dengan masyarakat lokal dan mengancam
wilayah hutan tropis terbesar ketiga yang tersisa di Bumi.
Penyelidikan lapangan yang dilakukan oleh Telapak/EIA di tujuh lokasi di Propinsi
Papua dan Propinsi Papua Barat selama tahun 2009 mengungkap gambaran suram eksploitasi pemilik hak
ulayat yang direstui oleh pemerintah; banyak dari mereka yang terjerat, tertipu dan kadang dipaksa
untuk melepaskan sebagian besar dari lahan hutan untuk perkebunan dengan diimingi janji-janji
manfaat pembangunan yang tak terpenuhi seperti perbaikan transportasi, pendidikan, dan
perumahan.
Dalam satu kasus, Telapak/EIA mendapati seorang anak
laki-laki berumur empat tahun, putra seorang pemilik hak ulayat, yang harus menandatangani kontrak
sehingga perusahaan perkebunan bisa menjamin kontrol terhadap tanah tersebut selama puluhan
tahun.
Juru bicara Telapak, Hapsoro mengatakan perusahaan
menipu orang Papua agar menyerahkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan janji-janji kosong
tentang kesejahteraan masa depan mereka. "Ini semua terjadi dengan restu pemerintah atas nama
pembangunan"katanya.
Merebaknya perkebunan di bumi Cenderawasih
Papua menurut Hapsoro, didorong oleh sejumlah kebijakan pemerintah yang mempromosikan pengembangan
biofuel, terutama kelapa sawit, namun pengelolaan sektor ini kacau-balau dan tidak transparan.
Pemerintah bermaksud untuk memperluas wilayah perkebunan kelapa sawit dari enam juta hektar menjadi
20 juta hektar. Sebagian besar pertumbuhan besar ini direncanakan di Papua karena sebagian besar
hutan Sumatera dan Kalimantan telah berubah menjadi perkebunan. Indonesia merupakan produsen minyak
kelapa sawit terbesar di dunia pada tahun 2007.
Harga tanah
yang murah untuk perkebunan, ditambah dengan sejumlah besar kayu berharga dari hasil pembukaan
hutan, telah menarik minat perusahaan-perusahaan besar Indonesia dan menyebabkan investor luar
negeri masuk ke Papua. Telapak/EIA mengungkapkan sebuah perusahaan dari Hong Kong yang terdaftar di
negara bebas pajak di luar negeri mendapatkan lebih dari 300.000 hektar lahan berhutan lebat di
Selatan Papua. Dalam publikasinya, perusahaan itu mengklaim akan "memperbaiki" hutan dengan membabat
200.000 hektar dan menggantinya dengan kelapa sawit untuk memasok biofuel ke negara-negara industri
yang berusaha mengurangi emisi karbon.
Ketika pertemuan iklim
Kopenhagen sudah semakin dekat, konsekuensi dari deforestasi besar-besaran hutan Papua untuk
dikonversi menjadi perkebunan jelas negatif. "Penelitian ilmiah di Indonesia menunjukkan bahwa
mengganti hutan yang utuh atau bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit untuk biofuel telah
berdampak buruk terhadap emisi gas rumah kaca,"ujar Hapsoro.
Sementara Jago Wadley, Juru Kampanye Hutan SeniorEIA mengatakan, Dewan Perubahan
Iklim Indonesia mengakui bahwa deforestasi harus diatasi jika Indonesia ingin mengurangi emisi gas
rumah kaca.
Pemerintah juga telah menyatakan bahwa biofuel
tidak berarti deforestasi. Namun penyelidikan Telapak/EIA telah menemukan deforestasi besar-besaran
di Papua yang didorong oleh permintaan nasional dan internasional akan biofuel atas nama perubahan
iklim. "Ini adalah ketidaklogisan kebijakan tingkat tinggi karena Indonesia merupakan negera
pengemisi karbon terbesar ketiga di dunia akibat hilangnya hutan dengan
cepat"ujarnya.
Telapak/EIA menyerukan agar Pemerintah Indonesia
menghentikan pemberian ijin perkebunan di Papua sampai diberlakukannya kebijakan yang kuat untuk
mendukung hak-hak masyarakat adat dan melindungi hutan. Telapak/EIA juga menyeru kepada masyarakat
internasional untuk menangani peran konsumsi komoditas perkebunan dan kayu sebagai penyebab utama
deforestasi. (Marwan Azis).